MENAKAR PEMAHAMAN SISWA
TENTANG HAKIKAT NORMA DALAM KEHIDUPAN BERSAMA
MELALUI UPACARA ADAT “SEREN TAUN KASEPUHAN ADAT BANTEN KIDUL”.
Oleh : Yudha Dana Prahara
I.
PENDAHULUAN
Masyarakat
Wilayah Banten Selatan tepatnya di Kabupaten Lebak bagian selatan memang selama
ini dikenal mempunyai corak budaya tersendiri dalam kehidupan bermasyarakatnya,
khususnya sebagian masyarakat yang berdomisili dan bermukim di wilayah
pelataran kaki Gunung Halimun-Salak. Corak Budaya masyarakat di wilayah Banten
Selatan ini lebih dikenal sebagai Masyarakat Adat atau lebih Populer dikenal
sebagai wilayah Adat Kasepuhan. Mengapa demikian? Karena dalam struktur masyarakat
adat kasepuhan selain terdapat sistem “kepemimpinan
Formal” (Baca: Kepala Desa, Camat, Bupati dan Seterusnya), terdapat pula
sistem “kepemimpinan tradisional” yang
dipimpin oleh Pemangku Adat atau Sesepuh. Pada Masyarakat Adat Kasepuhan Banten
Kidul, Pemangku Adat / Sesepuh biasanya disebut sebagai Olot atau Abah yang
memainkan peran sebagai salah satu figur yang dipercaya sebagai pengatur pola
kehidupan Masyarakatnya. Sebenarnya
Bukan hanya di Banten selatan saja terdapat pola kehidupan masyarakat seperti
ini, di wilayah bagian utara Kabupaten Lebak seperti wilayah Guradogpun masih
terdapat pula masyarakat adat, bahkan di beberapa daerah di Indonesia terutama daerah agraris, terdapat pula corak
budaya masyarakat kasepuhan seperti ini meski namanya mungkin berbeda-beda. Di
Kasepuhan Banten Kidul saja, setidaknya kurang lebih ada 15 (Lima Belas) Kasepuhan / warga adat yang tergabung dalam
Serikat Adat Banten Kidul (SABAKI). Dari ke 15 Kasepuhan tersebut diantaranya adalah
Kasepuhan Ciherang, Citorek, Cicarucub, Cisungsang, Cisitu, Cipta gelar/Cicemet
(Khusus untuk Ciptagelar/Cicemet wilayah administratif nya berada pada
perbatasan Jawa Barat dan Banten tepatnya di Kabupaten Sukabumi), dan
Kasepuhan-kasepuhan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Dalam
tulisan ini penulis tidak akan membahas secara rinci dan mendalam tentang Epistimologi
Masyarakat Adat, Apa dan Bagaimana Pola Kehidupan Masyarakat adat, apalagi
berani menelusuri sejarah Kasepuhan Banten Kidul. Dalam artikel ini penulis
hanya akan coba membatasi masalah Norma Adat Istiadat yang berlaku hubungannya
dengan pemahaman siswa tentang Hakekat Norma dalam kehidupan bersama. Walaupun
secara empiris indikator Pemahaman sulit untuk di ukur, namun setidaknya langkah awal dalam menilai
sejauh mana pengatahuan siswa tentang hakekat Norma dalam kehidupan bersama
dapat dilihat dari bagaimana siswa dapat memahami dan memaknai dulu Nilai-nilai
dan norma yang ada dilingkungan sosial tempat ia berada melalui Adat Istiadat
yang berlaku terutama dalam acara Seren Taun yang telah dilaksanakan di 2(dua)
wilayah kasepuhan yang penulis amati dan telusuri, yakni Kasepuhan Adat
Cisungsang dan Kasepuhan Adat Cisitu yang berada di wilyah administratif
Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak Provinsi Banten, untuk selanjutnya dapat
dijadikan referensi bagi siswa dalam mengkaji Norma-norma kehidupan demi
kepentingan akademik mereka dengan harapan dapat ditampilkan dalam kehidupan
nyata baik di sekolah, keluarga dan masyarakat. Anggapan Dasar yang coba
penulis kemukakan adalah Upacara Adat
Seren Taun sebagai aktualisasi dari nilai dan norma yang berlaku sekaligus
puncak ritual pada masyarakat adat kasepuhan Banten kidul dalam hubungannya
dengan penerapan pemahaman siswa/Peserta didik terutama siswa SMP Negeri 7
Cibeber tentang Hakikat Norma dalam Kehidupan. Anggapan Dasar yang penulis
ajukan berdasar pada upaya penulis untuk memberikan stimulus kepada siswa SMP
Negeri 7 Cibeber yang cenderung berada di lingkup wilayah ke dua kasepuhan
tersebut untuk lebih bersikap peka terhadap norma dalam kehidupan bersama,
sekaligus menawarkan solusi atas keterbatasan media dan informasi dalam Pembahasan
Materi “Norma Dalam Kehidupan Bersama” pada pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) di Sekolah, terutama sekolah yang berada jauh dari pusat
kota seperti halnya di SMP Negeri 7 Cibeber ini. Adapun Tujuan dari penulisan
ini adalah siswa diharapkan mempunyai pengalamannya sendiri dalam mengetahui,
mendeskripsikan, memahami dan bisa menampilkan sikap positif terhadap
pentingnya Norma dalam kehidupan bersama. Tulisan ini Tentunya disajikan secara
sederhana dengan segala keterbatasan data dan pemahaman penulis.
II.
HAKIKAT
NORMA DALAM KEHIDUPAN
Norma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat,
dipakai sebagai panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan
diterima. Selain itu ada pula yang menyebutkan bahwa norma adalah kaidah atau
aturan yang disepakati dan memberi pedoman tingkah laku bagi para anggotanya
dalam mewujudkan sesuatu yang dianggap baik, benar dan diinginkan (Tim Abdi
Guru, 2006 : 2). Berdasarkan pendapat tersebut, secara singkat Norma dapat
diartikan sebagai kaidah atau pedoman dalam mewujudkan suatu nilai. Norma
berfungsi untuk mewujudkan keteraturan dan ketertiban dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam konteks interaksi sosial Norma berisi
perintah dan larangan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama,
bertujuan untuk mengatur setiap warga masyarakat sehingga ketertiban dan
keamanan dapat tercapai. Norma-norma yang mengatur masyarakat pada umumnya ada
yang bersifat formal (resmi /tertulis)
dan ada yang bersifat nonformal
(Tidak resmi/tidak tertulis).
Seperti
diketahui Norma yang bersifat Formal
(Resmi/Tertulis) berasal dari lembaga atau institusi resmi negara yang berlaku
untuk semua Warganegara tanpa kecuali, ia dapat berupa Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Daerah, Surat Keputusan (SK) dan lain sebagainya yang
bersumber dari Negara. Secara prinsip norma yang bersifat Formal bisa dikatakan sebagai Norma Hukum yang memiliki sanksi yang
tegas dan memaksa bagi pelanggarnya.
Sedangkan
Norma yang bersifat Nonformal (Tidak
resmi/tidak tertulis) mengacu pada aturan yang tidak tertulis tetapi diakui
keberadaannya di Masyarakat. Khusus untuk Norma yang bersifat nonformal ini dapat diklasifikasikan menjadi
dua Macam.
Pertama, Norma yang bisa
ditentukan dan dilihat dari jenis sanksinya, sebagai Contoh :
a. Norma Agama, yang bersifat abadi dan
universal berasal dari wahyu Tuhan YME, serta memiliki sanksi secara tidak
langsung.
b. Norma Susila, yang bersumber dari
hati nurani manusia tentang baik dan buruknya suatu perbuatan, memiliki sanksi
yang tidak tegas bagi para pelanggarnya seperti perasaan bersalah, malu dan
menyesal apabila melakukan perbuatan tidak jujur, tidak adil, dan tidak
menghargai orang lain.
c. Norma Kesopanan, yang timbul dari
hasil pergaulan sekelompok manusia didalam masyarakat dan dianggap sebagai
tuntunan interaksi sosial masyarakat itu yang bersifat relatif, mempunyai
sanksi tidak tegas tetapi dapat diberikan oleh masyarakat berupa cemoohan,
celaan, hinaan, atau dikucilkan dari pergaulan bagi si pelanggarnya.
Kedua, Norma dilihat berdasarkan kekuatan mengikatnya, biasanya
dapat berupa Cara, Kebiasaan, Tata kelakuan dan Adat Istiadat. Norma-norma tersebut ada
dan hidup dalam masyarakat dengan mempunyai kekuatan pengikat yang
berbeda-beda. Ada yang ikatannya lemah, sedang dan ada yang kuat. Biasanya,
masyarakat tidak berani melanggar norma yang kuat Ikatannya seperti Adat
Istiadat.
III.
UPACARA
ADAT SEREN TAUN KASEPUHAN ADAT BANTEN KIDUL SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN NORMA
ADAT ISTIADAT.
Seperti
Pada umumnya masyarakat Desa di Indonesia, pola hubungan masyarakat dan
pemimpinnya dapat dikatakan masih bersifat Paternalistis,
karena kenapa? Dalam terminologi Sosiologi Masyarakat Desa, di Indonesia
masih banyak ditemui komunitas atau kelompok dimana hubungan antara anggota masyarakat
masih didasarkan pada pola Patron-klien,
atau secara sederahana menurut beberapa pakar sosiologi kemasyarakatan diartikan
sebagai hubungan “Kebapak-an / Bapak-Anak”.
Dalam pola ini, tingkah laku masyarakat akan banyak mengikuti tokoh yang
dianggap menjadi panutan mereka tanpa mempersoalkan benar atau salah. Aturan
atau kebijakan yang berasal dari tokoh tersebut menjadi suatu pedoman dan nilai
yang harus dipatuhi dan dilaksanakan sebagai norma hidup masyarakatnya. Pola
seperti ini berkembang secara terus menerus disampaikan dari satu generasi ke
generasi berikutnya hingga membentuk suatu sistem nilai yang pada akhirnya
terciptalah apa yang di Sebut Adat Istiadat.
Menurut
Bachsan Mustafa dalam bukunya Sistem
Hukum Indonesia Terpadu (2003), Adat Istiadat merupakan pola-pola prilaku
yang diakui sebagai hal yang baik dan dijadikan sebagai hukum tidak tertulis
dengan sanksi yang berat. Sanksi atau hukuman diberikan oleh orang yang paling
mengetahui seluk beluk adat, seperti pemimpin adat, pemangku adat, atau kepala
suku. Misalnya dalam masyarakat dikenal istilah “Tabu” Pamali atau pantangan,
sesuatu yang ditabukan berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar. Seandainya
itu dilanggar, maka bencana akan menimpa seluruh warga dan si pelaku akan di
kenai sanksi. Dengan demikian Norma adat Istiadat bisa dikatakan sebagai
kumpulan tata kelakuan atau kaidah-kaidah sosial yang paling tinggi
kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap
masyarakat yang memilikinya (masyarakat yang berada pada lingkungan adat),
dikatakan demikian karena kaidah-kaidah sosial tersebut sudah ada sejak lama
dan telah menjadi kebiasaan dalam mayarakat.
Koentjaraningrat
(dalam Nur Asiah, 2009:8) pernah menyebut adat Istiadat sebagai kebudayaan
Abstrak atau sistem nilai, yang terdiri dari 4 (empat) unsur yang saling
berkaitan, yakni : Nilai-nilai Budaya,
sistem norma, Sistem Hukum, dan aturan-aturan khusus. Berdasarkan pendapat
tersebut penulis menangkap kebudayaan Abstrak atau sistem nilai yang dimaksud Koentjaraningrat
adalah sebagai akumulasi dari perwujudan ke empat unsur tersebut sehingga
menciptakan norma yang tidak tertulis dan berlaku sebagai pedoman tatanan
kehidupan sosial, disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan
diyakini kebenarannya, sehingga umumnya orang meyakini bahwa adat istiadat
merupakan kehendak nenek moyang. Oleh karena itu aturan-aturan yang ditetapkan
oleh Adat harus dijalankan. Dengan demikian masyarakat/warga adat akan
terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti penyakit dan bencana.
Adalah
Upacara Adat Seren Taun yang menjadi puncak ritual adat Kasepuhan Banten Kidul
menjadi sebuah agenda rutin tiap tahunnya yang diselenggarakan oleh masyarakat Adat
Kasepuhan Banten Kidul, dimana Upacara Adat ini oleh masyarakat sosialnya di
“Tasbihkan” sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta atas karunia
yang telah diberikan kepada Warga Masyarakat karena telah dilimpahkan hasil
bumi berupa Padi sebagai Bahan kebutuhan Pokok/Utama makanan warga. Berdasarkan
keterangan narasumber yang berhasil penulis temui, diantaranya Abah Marja
(selaku salah satu sesepuh di Kasepuhan Cisitu) dan Bapa Atjaya (Selaku Tokoh
Adat dan Masyarakat), pada Prinsipnya Seren Taun bararti Saresehan atau Menyerahkan
rasa syukur kepada para leluhur.
Adapun
Rangkaian seren Taun yang dilaksanakan
di Kasepuhan Masyarakat Adat Cisitu secara ringkas adalah :
1.
Beberapa
Hari sebelum pelaksanaan seren taun Para Rendangan (Orang yang dipercaya memegang
garis keturunan) mendata keluarga/Warga adat yang diampunya untuk proses “mengembalikan
Anak Cucu” atau kembalinya keturunan warga adat Cisitu dimanapun berada untuk
kembali ke kampung halaman. Tujuannya adalah untuk mengetahui secara jelas
berapa jumlah orang atau anggota keluarganya yang terikat dalam pelaksanaan
Seren taun.
2.
Pengiriman
Do’a untuk para karuhun yang dilaksanakan oleh para warga adat sebelum upacara
adat dilaksanakan.
3.
Puncak
acara ritual yang dipimpin oleh Kordinator Sesepuh /Abah. (di Kasepuhan Cisitu
bertindak sebagai Pemimpin Upacara adat
adalah Abah H.Okri). Biasanya puncak ritual ini dihadiri oleh berbagai tamu
Undangan termasuk dari Instansi Pemerintahan, Bahkan Gubernur dan Bupati pun biasanya
hadir dalam acara ini.
4.
Dalam
Puncak acara seren taun biasanya ditampilkan pula seremoni teatrikal proses penanaman
padi, panen raya, hingga “Netebkeun/Ngadiukeun Indung” (menyimpan Padi Ke
Tempatnya/Leuit) diiringi kesenian tradisonal setempat, seperti dog-dog Lojor.
5.
Puncak
Acara seren taun ditutup oleh acara “Ngarasul”, artinya Tutup Do’a untuk Sang
Maha Pencipta dan Karuhun serta “Babagi Panglay, kemenyan, dsb.” untuk
kepentingan menanam Padi, Berkebun, beternak dan Lain sebegaianya.
Sedangkan
di Kasepuhan Adat Cisungsang, berdasarkan berbagai sumber, secara umum ada tiga
kegiatan pokok yang tidak boleh dilewatkan dalam rangkaian seren taun, yaitu
menampilkan kesenian tradisional, mengirim doa kepada karuhun, serta mengirim
doa kepada Yang Maha Kuasa dipimpin oleh Abah. Di Kasepuan Adat Cisungsang sendiri
bertindak sebagai Pemangku Adat atau sesepuh adalah Abah Usep Suyatma. Berikut
secara ringkas rangkaian Acara Seren Taun Cisungsang :
1.
Acara
seren taun di Cisungsang dimulai dengan acara rasul pare di leuit, yaitu
mempersembahkan tumpeng rasul dan bekakak ayam jantan berwarna kuning keemasan.
Kegiatan ini dipimpin Abah Usep Suyatma yang didampingi 7 orang pake-pake kolot
(sesepuh yang diambil berdasarkan garis keturunan). Ritual ini untuk menentukan
kapan puncak seren taun kali ini berlangsung. Kegiatan ini tertutup bagi
anggota warga adat lainnya, apalagi orang luar. 6 (enam) Hari sebelum puncak
acara hanya diisi dengan kegiatan sakral dan doa-doa masing-masing anggota
warga adat.
2.
2 (dua) hari sebelum upacara, berlangsung
acara balik taun rendangan atau kembalinya para keturunan Warga Adat Cisungsang
ke kampung halaman leluhur, bahkan ada pula warga yang datang dari pelosok
Banten atau bahkan nusantara. Pada acara ini, semua rendangan melaporkan segala
hal kepada Abah sambil membawa buah tangan dari tempat mereka mencari
kehidupan. Setiap rendangan akan melapor secara khusus satu per satu.
3.
Puncak
seren taun diisi dengan Upacara Ritual yang dipimpin oleh Abah Usep, diisi
dengan pertunjukan kesenian yang menggambarkan kegiatan warga adat bercocok
tanam mulai dari menebar benih hingga memanen. Setelah itu, upacara dilanjutkan
dengan menyimpan sebagian hasil panen ke dalam lumbung (leuit) sebagai cadangan
pangan jika terjadi gagal panen atau datang musibah. Dengan demikian, warga
adat tak akan kelaparan. Setelah upacara selesai, dilanjutkan dengan
ramah-tamah antara seluruh anggota warga adat dengan pemerintah dalam hal ini
jajaran Pemkab Lebak dan Pemprov Banten.
4.
Sehari
setelah Upacara, rangkaian acara dilanjutkan dengan rasul seren taun, yaitu
mengirim doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dipimpin oleh Abah Usep.
5.
Acara
penutupan rangkaian seren taun diisi Acara “panadaran”. Closing ceremony
biasanya hanya dihadiri para rendangan yang setelah itu kembali melanjutkan
kehidupan mereka masing-masing dengan harapan bisa bertemu lagi di seren taun
tahun depan.
Dari
serangkaian Acara Seren Taun yang dilaksanakan khususnya di Kasepuhan Cisitu
dan Kasepuhan Cisungsang serta di Kasepuhan Adat Banten Kidul pada umumnya, ada
suatu hal yang sangat penting dan tidak boleh dilupakan serta wajib dipatuhi
dan dilaksanakan oleh seluruh warga adat yang terikat, hal tersebut berupa
Pantangan. Di Kasepuhan Cisitu dan Cisungsang sendiri pantangan ini dinamakan
“Pongokan”, yang artinya tenggat waktu selama 7 (tujuh) atau 8 (Delapan) hari sebelum
/ menjelang Acara Puncak Ritual Adat Seren Taun dilaksanakan, warga Adat tidak
diperkenankan melakukan aktivitas pokok, Seperti melakukan aktivitas di Sawah,
bercocok tanam, menuai hasil kebun, dan lain sebagainya. Baru setelah 1 (satu)
hari dari Acara terakhir yaitu “Tutup Rasul” yang ditandai dengan pembagian
bahan dan rupa-rupa “bekal” (seperti yang disebutkan diatas) dari Abah/sesepuh,
maka warga adat diperkenankan kembali untuk melakukan aktivitas kesehariannya. Istilah
“Pongokan” ini dipercaya oleh warga adat sebagai nilai yang mengandung unsur
“Tabu” atau “pamali” yang jika dilanggar akan mendapatkan sanksi berupa bencana
atau musibat yang tidak diinginkan.
Kandungan
isi “Pongokan” inilah sesungguhnya yang menjadi urgensi dalam tulisan ini,
dimana “Pongokan” ini penulis anggap sebagai suatu norma atau kaidah nilai adat
istiadat yang berlaku sebagai pedoman hidup bagi warga adat di Kasepuhan Cisitu
dan Cisungsang pada khususnya. Tidak terkecuali bagi anak-anak siswa SMPN 7
Cibeber yang cenderung berada dilungkup wilayah adat tersebut. Istilah
“pongokan” ini pula dipakai oleh penulis sebagai salah satu model contoh
norma terutama Norma Adat Istiadat yang
berlaku dalam kehidupan bersama, sehingga pada akhirnya siswa dengan sendirinya
dapat mengetahui dan merasakan adanya Norma dalam kehidupan sosialnya.
IV.
PEMAHAMAN
SISWA TERHADAP NORMA DALAM KEHIDUPAN BERSAMA
Dalam
berbagai konteks pembelajaran dari mulai kurikulum 1994 dengan CBSA nya, tahun
2004 atau KBK dengan model CTL (Contekstual
Teaching Learning) dan Life skil nya, sampai dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) sebagai Kurikulum Penyempurnaan (2006- sekarang) dengan
berbagai model dan pendekatan PAKEM nya, pada hakekatnya bermuara pada satu
konsep general yang menggariskan bahwa siswa atau Peserta Didik didorong untuk
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya untuk diintegrasikan dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka di dunia nyata sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Adapun pengetahuan yang dimiliki siswa/peserta didik dapat digali
dari pengalaman Hidupnya melalui proses pembelajaran kontekstual yang memungkinkan
siswa menemukan masalah, mencari informasi, menguatkan, memperluas serta
memecahkan masalahnya sendiri untuk selanjutnya menerapkan pengetahuan dan
keterampilan mereka dalam berbagai macam tatanan kehidupan sosial.
Melalui
Upacara adat seren taun di kasepuhan adat Banten Kidul terutama di Kasepuhan
Cisitu dan Kasepuhan Cisungsang terdapat salah satu contoh “model” yang bisa
dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Istilah “Pongokan” menarik perhatian
penulis untuk dijadikan referensi bagi siswa untuk mengkaji norma yang hidup
dalam masyarakat sebagai aktualisasi nilai dan norma kehidupan bersama. Betapa
tidak ketika dalam pembelajaran pertama dikelas penulis bertanya tentang
hakikat norma dalam kehidupan bersama, ternyata tidak ada satu pun siswa yang
bisa menyatakan pendapatnya. Begitupun ketika penulis mencoba memberikan
informasi dan contoh beberapa aturan sekolah yang ada, hanya ada beberapa siswa
yang dapat menyampaikan rasionalisasi nya. Selanjutnya ketika penulis coba
melakukan pendekatan “Role Playing”
atau bermain peran, ternyata hanya beberapa siswa yang aktif menampilkan
perannya dan hanya sepertiga siswa saja yang dapat menyimpulkan dari permainan
yang disajikan.
Berangkat
dari hasil evaluasi dikelas tersebut, maka penulis mencoba untuk memberikan
tugas membuat catatan informasi secara Individu dan membuat makalah kelompok
tentang Nilai dan Norma yang berlaku dalam masyarakat tempat tinggal siswa,
untuk selanjutnya dapat dipresentasikan di depan Kelas. Hasil yang didapat
ternyata 4 (empat) dari 5 (Lima) kelompok menyajikan “Upacara Adat Seren Taun”
sebagai Tema tugas atau makalah yang dibuat. Setelah melalui proses presentasi
dan interaksi, siswa yang dapat menyimpulkan materi mengalami peningkatan yang
cukup signifikan, lebih dari 2/3 siswa secara aktif menyebutkan pemaknaan dari
hakekat norma dalam kehidupan bersama.
Berangkat
dari pengalaman pembelajaran tersebut, penulis melanjutkan materi tersebut dengan
mencoba melakukan proses yang penulis namakan sebagai pembelajaran berbasis
pendekatan lingkungan. Siswa diminta untuk membuat daftar ceklis kegiatan dalam
konteks menampilkan sikap positif terhadap norma dalam kehidupan, terutama
norma Adat Istiadat yang penulis istilahkan sebagai “Local Fundamental Norm” atau Norma Dasar di lingkungan tempat
tinggal.
Setelah
menerima hasil tugas tersebut, proses selanjutnya penulis coba integrasikan
dengan instrumen skala sikap yang telah dipersiapkan. Hasil kesimpulan yang
didapat ternyata siswa lebih cenderung bersikap positif ketika aturan atau
norma yang berlaku berasal dari nilai budaya yang berkembang dalam suatu lingkungan
terutama ketika norma tersebut berlaku sebagai pedoman bagi kelangsungan hidup
tempat mereka tinggal. Proses terakhir dalam melakukan evaluasi terakhir,
didapat hampir 90% siswa dapat memaknai hakikat Norma dalam kehidupan bersama.
Atas dasar hal tersebut penulis berasumsi wahana kegiatan Upacara Adat Seren
Taun Kasepuhan Banten Kidul terutama di Kasepuhan Cisitu dan Kasepuhan
Cisungsang dapat dijadikan salah satu contoh “corong pencarian” informasi
pemahaman tentang hakekat Norma Dalam Kehidupan Bersama terutama dalam Norma
Adat Istiadat, dan diharapkan dapat menjadi salah satu sumber belajar demi
terwujudnya Learning to know dan Learning
to Live together.
V.
PENUTUP
Pemahaman
dan pemaknaan Siswa terhadap Norma dalam Kehidupan bersama salah satunya akan
terlihat melalui proses pembelajaran berbasis pendekatan lingkungan. Dengan
pendekatan tersebut setidaknya siswa dapat memahami hakekat Norma kehidupan
yang berlaku dilingkungan tempat mereka tinggal, untuk selanjutnya dapat
diaktualisasikan di berbagai lingkungan seperti sekolah dan lingkungan
keluarga. Upacara Adat Seren Taun di Kasepuhan Cisitu dan Kasepuhan Cisungsang
sebagai salah satu Kasepuhan yang berada di lingkup Kasepuhan Adat Banten Kidul
telah membuka mata kita bahwa sumber belajar sesungguhnya dapat ditemukan dilingkungan
tempat kita tinggal, serta dapat dijadikan wahana pembelajaran dalam memberikan
pemaknaan dan pemahaman kepada siswa tentang hakekat Norma Adat Istiadat yang
merupakan bagian dari Norma Dalam Kehidupan bersama.
Akhirnya
Dengan Kegiatan / Upacara Adat seren Taun di Kasepuhan Banten Kidul sebagai
salah satu sumber belajar bagi siswa, penulis berharap mudah-mudahan contoh
pendekatan ini dapat dijadikan salah satu referensi dalam menciptakan iklim
pembelajaran kondusif yang mendorong terwujudnya proses pembelajaran yang
aktif, kreatif efektif dan bermakna, dengan menekankan pada belajar mengetahui
(Learning to Know), Belajar berkarya
(Learning to do), belajar menjadi
diri sendiri (Learning to be), dan
belajar hidup bersama secara harmonis (Learning
live together). Semoga!
Pendidikan, Kebudayaan dan Adat
Istiadat menghampar ibarat pasir namun bagaikan dua sisi mata uang, satu sisi
bermanfaat tetapi disisi lain terhempas angin. (Kidung Karuhun)
Penulis adalah Guru Pendidikan
Kewarganegaraan SMPN SATAP 7 Cibeber
REFERENSI
Bachsan Mustafa, S.H. 2003. Sistem Hukum Indonesia Terpadu. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakto.
E. Mulyasa, M.Pd. 2010. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung : Rosda
Nur Asiah. 2009. Generasi
Taat Hukum . Jakarta : PT. Mediantara Semesta
Taufik Abdullah et.al. 1999. Jika Rakyat Berkuasa : Upaya
Membangun Masyarakat Madani
Dalam Kultur Feodal/Editor, Andito. (Tim Maula).
Bandung : Pustaka Hidayah
Tim Abdi Guru. 2006 Pendidikan
Kewarganegaraan SMP Kelas VII. Jakarta : Erlangga.
Yoga Sayata, 2006. Seren taun hakikatnya sebuah pesta perayaan dari, oleh, dan
untuk warga adat.
Lebak
: Radar Banten